Saturday, March 13, 2010

my favorite one


Suatu saat kita akan berterimakasih pada rasa kecewa. Karena dia yang mengajarkan kita untuk hidup, karena dia yang mengingatkan kita bahwa kita masih mempunyai hati. Dan bahwa kita adalah manusia. Karena dia yang mengajari kita untuk berpikir keluar dari batas. Karena dia juga yang memaksa kita untuk tidak terjebak, dan bangkit untuk kembali memulai awal baru.

Suatu saat kita akan bersyukur, dan berterimakasih pada pengkhianatan. Karena telah membuat mata kita terbuka, hati kita tergugah, dan logika kita berbicara. Sehingga kita bisa melihat dari berbagai sudut pandang yang selama ini kita acuhkan karena terlena. Karena telah menghadapkan kita pada kenyataan yang selama ini tidak kita pedulikan. Karena telah menguatkan kita dan membuat kita berjanji untuk tidak melakukan hal yang sama kepada orang lain.

Lalu suatu saat nanti kita akan berterimakasih pada penolakan, dan kata “tidak”, yang telah membuat kita bercermin dan melihat bagaimana kita sebenarnya. Membuat kita tidak mudah menyerah, dan terus berjuang. Penolakan membuat kita memperbaiki segala kekurangan kita dan belajar menerima diri kita apa adanya.

Suatu saat nanti kita akan berterimakasih pada kesedihan yang telah membuat kita menumpahkan airmata. Kita akan berterimakasih padanya karena telah membiarkan kita mengecap rasa pahit, dan menegur kita karena kita sudah terlalu lama dimanja tawa, sehingga melupakan esensi kesedihan yang membuat kita lebih tabah, tegar dari waktu ke waktu.

Suatu saat kita akan berterimakasih pada kesendirian. Karena telah membiarkan diri kita bebas, dan membiarkan kita dicintai oleh diri kita sendiri. Kita berterimakasih karena kesendirian membuat kita merenung dan berpikir. Membuat kita melihat diri kita sebagai “seseorang” dan membuat kita berpikir untuk “menjadi siapa”.

kita akan berterimakasih pada rasa sakit, kebohongan, kecerobohan, sakit hati, yang dulu pernah membuat kita menangis, dan menyesal namun suatu saat nanti kita akan menoleh sekilas ke belakang dan tersenyum sambil berkata, “terimakasih…” kepada masa lalu. Lalu menatap ke depan, dan terus melangkah.

just my opinion...

Saya ingat, ketika saya dan teman-teman KKN saya menginap di pondokan yang kami tempati di desa. Ramenya penghuni pondokan membuat kita semua sulit tidur, ada yang tidur satu, yang ngegganggunya 19 orang. Bosan main kartu, ledek-ledekan, makan, ngemil, ngopi, kehabisan aktifitas, lalu kita berkumpul dan membuka forum “Ngalor-ngidul”, segala sesuatu kita bahas hingga salah Seorang teman membuka pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi. Suatu pembicaraan yang sensitive buat temen-temen saya yang rata-rata ngeres isi otaknya. Pembicaraan terus berlanjut, dari mulai menstruasi, hamil, dan ujung-ujungnya (apalagi?) proses penghamilan. Dibahas secara medis maupun secara bercanda. Adaaaa aja celetukan anak-anak yang bikin ketawa.

Lalu salah seorang diantara kita yang ngakunya “innocent” berat, dengan pengetahuan seks yang Nol besar untuk seorang perempuan berusia 21 tahun di zaman sekarang ini, mempertanyakan mengenai keperawanan. Dia percaya bahwa jika seorang perempuan yang sudah tidak perawan, maka masa depannya akan suram, lelaki yang menjadi suaminya akan meninggalkan ia setelah malam pertama begitu mengetahui ia tidak lagi perawan. Ia akan dinilai tidak suci, (kayak ada orang suci aja di dunia ini…) Dalam hati saya berkata “Oh…what a shallow thought… this is 2009 ma’am… please open up your mind! Saat itu saya hanya diam saja, ga banyak omong… menikmati ke “luguan” teman saya yang satu itu. Padahal isi pikiran saya saat itu adalah,

Virginitas itu hanya suatu konsep. Sebuah pemikiran yang diturunkan menurut kebudayaan yang ada, untuk membentuk pemikiran perempuan dalam memandang harga diri. Dalam hal ini kebudayaan timur, yang entah apa definisi sebenarnya budaya timur itu, masih suram bagi saya. virginitas tidak bisa dijadikan standar atau tolak ukur seberapa tinggi harga diri manusia, terutama perempuan. Rasanya tidak adil jika seorang laki-laki mempermasalahkan virginitas seorang perempuan, sementara keperjakaan mereka sendiri tidak dikepentingkan. Pengertian Virginitas memang abstrak. Jika keperawanan seorang perempuan dinilai dari masih ada atau tidaknya hymen (selaput dara) mereka, dan keperawanan dinilai sebagai harga diri yang dimiliki perempuan, bisa dibayangkan, betapa rapuh, dan tipisnya harga diri mereka? Belum lagi di zaman modern ini sudah berkembang teknologi pemasangan hymen buatan, hmmm makin memusingkan pandangan virginitas di masa ini.

Saya rasanya ingin memberitahu teman lugu saya itu, “harga diri lebih tinggi, dan jauh lebih tebal dibandingkan sebuah selaput…”

NB : this is just my opinion… J

hitam-putih

Kita hidup di sebuah dunia yang tidak mengizinkan kita memiliki pilihan. Dunia yang Hitam Putih. Hanya ada laki laki-perempuan. Benar-salah. Hidup-mati. Beragama-kafir. Kita tidak boleh berada di antara. Kita tidak boleh menjadi abu-abu.

Ingat bagaimana Agus ingin menjadi Nadya? ia seorang lelaki transeksual, kini menjadi wanita. Dan kini ia diharamkan. Ia dicibir kemanapun pergi. Semua orang memperdebatkan “kontroversi” perubahan kelamin yang telah menjadi pilihannya karena mereka menilai di dunia ini hanya ada lelaki dan perempuan, seorang lelaki apapun hormone dan kromosom yang berkembang di tubuhnya akan tetap menjadi lelaki jika ia memiliki penis. Begitupun sebaliknya. Hal itu tidak boleh diubah apapun yang terjadi karena akan dinilai menyalahi takdir.

Atau bagaimana seseorang terlahir dengan agama yang dianut oleh orang tuanya, olah orang tua dari orang tuanya, dan dari orang tuanya orang tua dari orang tuanya, dan seterusnya. Ia terlahir dengan agama dan konsep-konsep beragama yang diajarkan turun temurun. Lalu saat dewasa, ia menyadari apa yang selama ini diturunkan padanya bukan apa yang ia yakini, maka ia memilih untuk hanya percaya pada adanya Tuhan, tanpa membatasi dirinya dengan konsep-konsep yang telah diturunkan mendarah daging. Ia memilih. Namun lingkungannya, masyarakatnya, dunianya, menilai ia seorang kafir, karena ia tak memiliki Tuhan. ia dicemooh, karena dianggap menyalahi takdir.

TAKDIR yang mereka bicarakan berarti, hal-hal yang sudah seharusnya diterima manusia dan tidak dapat dirubah walaupun dalam perjalanannya takdir melewati bermacam pilihan. TAKDIR artinya ketentuan Tuhan, manusia tidak dapat merubahnya. Namun, bukankah perjalanan takdir sendiri merupakan ketentuan Tuhan? Pilihan-pilihan yang menyertai perjalanan takdir ,merupakan bagian dari rencana Tuhan?

Jadi, kalaupun Agus, Dorce, atau siapapun dalam kasus ini yang terlahir dalam wujud lelaki namun berjiwa perempuan, ataupun mereka yang memilih untuk tidak tunduk pada konsep keagamaan yang mengikat mereka, dan menginginkan perubahan dan pilihan untuk hidup mereka, bukankah itu takdir?

Atau… TAKDIR pun tidak menghargai pilihannya sendiri? Sama seperti dunia yang sedang kita tempati saat ini?

-jatinangor 29 1209-

Berteman Luka

Ya..
Perih itu menggores dan menusuk dalam
Darahnya membuncah mengalir…
Merah…merah… deras…
Dingin sesaat terasa diatas luka yang menganga
Maka ku peras lemon segar diatasnya
Menakjubkan dan luar biasa
Percikan dari lemon peras menyatu dengan
Merahnya darah yang mengalir
Rasanya luar biasa…
Menakjubkan…
Membuat sejenak terdiam, lalu tersadar
Tersenyum diatas perih yang kian lama kian menyayat, sambil berucap :
“Hai, aku lah hidup…”

Thursday, March 11, 2010

welcome me...

akhirnya...nge blog lagi... setelah 2 blog yang terdahulu tak terjamah. semoga saya jadi makin rajin deh numpahin isi pikiran. sekali lagi, no hard feeling ya, UU ITE.. :)